- Mr Wongsonegoro, Ketua Pusat Kebudayaan Kedu
- Soeratno Sastroamidjojo, Sekretaris Pusat Kebudayaan Kedu
- Marjoen Soedirohadiprodjo dari Setia Hati Organisasi
- Dr Sahar dari Silat Sumatera
- Soeria Atmadja dari Pencak Jawa Barat
- Soeljohadikoesoemo dari Setia Hati Madiun
- Rachmad Soeronegoro dari Setia Hati Madiun
- Moenadji dari Setia Hati Solo
- Roeslan dari Setia Hati Kediri
- Roesdi Imam Soedjono dari Setia Hati Kediri
- S Prodjosoemitro, Ketua PORI Bagian Pencak
- Mohamad Djoemali dari Yogyakarta
- Margono dari Setia Hati Yogyakarta
- Soemali dari Persatuan Olahraga Republik Indonesia
- Karnandi dari Kementerian Pembangunan dan Pemuda
- Ali Marsaban dari Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
Pada tahun 1952 dibentuk Lembaga Pencak Silat di bawah Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Pada tahun 1953 aktivitas pencak silat dipindahkan dari Jawatan Pendidikan Masyarakat ke Jawatan Kebudayaan. Pada tahun tersebut juga diadakan Kongres IPSI III di Bandung. Demonstrasi pencak silat yang bersifat internasional dalam misi kebudayaan Indonesia dilakukan pada tahun 1955 di Praha, Leningrad, Budapest dan Kairo.
Sistem pencak silat nasional yang telah distandarisasi oleh IPSI ternyata belum dapat memenuhi harapan masyarakat, sehingga peralihan pencak silat dari sarana beladiri menjadi sejenis senam jasmani memakan waktu yang cukup lama. Tim ahli teknik IPSI yang terdiri dari pakar-pakar dari berbagai aliran dan perguruan pencak silat mempelajari ratusan kaidah dan gerak kemudian mencoba menyatukan mereka tanpa menghilangkan warna-warni yang khas. Mereka juga harus menyesuaikan sistem pelajaran tradisional pencak silat yang berpatokan kepada jurus (seri atau kumpulan gerakan) dengan prinsip olahraga modern.
Pada tahun 1960, PB IPSI membentuk Laboratorium Pencak Silat yang bertujuan untuk menyusun peraturan pertandingan pencak silat yang baku dan memenuhi kriteria suatu pertandingan olahraga yang dapat dipertandingkan di tingkat nasional. Anggota laborat tersebut terdiri dari Arnowo Adji HKP dari Perisai Diri, Januarno dan Imam Suyitno dari Setia Hati Terate, Mochamad Hadimulyo dibantu Dr Rachmadi Djoko Suwignjo dan Dr Mohamad Djoko Waspodo dari Nusantara.
Selain mengalami kesulitan teknis dalam mengembangkan metode dan sistematika olahraga yang dapat diterima oleh semua pihak, IPSI juga mendapat resistensi dari kalangan pendekar tradisional yang enggan menerima pemikiran-pemikiran baru karena tidak menginginkan reduksi pencak silat hanya kepada satu bentuknya, yaitu olahraga. Mereka khawatir bahwa aspek integral yang lain, khususnya aspek seni dan aspek spiritual, akan diabaikan dan tidak dapat dirasakan lagi sebagai unsur-unsur yang saling terkait dalam satu totalitas sosiokosmik.
Kesulitan juga datang dari luar dunia pencak silat, karena persaingan yang ketat dari beladiri impor. Antara tahun 1960 - 1966, pada waktu terjadi kemerosotan ekonomi dan politik negara yang turut berdampak terhadap IPSI, beladiri karate dari Jepang secara resmi masuk Indonesia dan dengan tangkasnya memasuki kalangan pelajar dan militer. Pada awalnya, karate dan judo dipraktekkan sebagai olahraga dan dipertandingkan di depan umum. Penerimaan yang positif terhadap beladiri asing, memaksa kalangan pencak silat untuk berpikir dan berbuat lebih baik dalam usaha mengembangkan pencak silat olahraga. Kehadiran karate di Indonesia merupakan cambuk yang benar-benar efektif untuk membangunkan kalangan pencak silat dari tidurnya.
Penggeseran konseptual akhirnya terjadi, meskipun beberapa pendekar pencak silat keberatan apabila makna pencak silat sebagai unsur kebudayaan dalam arti luas dipersempit agar aspek olahraga dapat diutamakan. Pada bulan Januari 1961 IPSI dipindahkan dari Jawatan Kebudayaan ke Jawatan Pendidikan Jasmani, kemudian pada tanggal 31 Desember 1967 IPSI turut aktif dalam mendirikan KONI. Jawatan Pendidikan Jasmani menyelenggarakan Seminar Pencak Silat Seluruh Indonesia yang membahas masalah penyusunan cara pertandingan pencak silat nasional. Kemudian dilakukan uji coba pertandingan bebas full body contact di Solo dan Madiun. Pada tahun yang sama berlangsung PON V di Bandung yang juga mempertandingkan pencak silat.
Pada tahun 1970-an muncul kerangka konseptual dimana induk-induk olahraga beladiri dianggap sebagai alat pertahanan nasional. Sebagai akibatnya cabang-cabang ilmu beladiri mulai ditempatkan di bawah pimpinan tokoh-tokoh militer. Pada Kongres IPSI IV tahun 1973 di Jakarta, Ketua Umum PB IPSI Mr Wongsonegoro yang saat itu usianya sudah sangat tua diganti oleh Brigjen TNI Tjokropranolo, Gubernur DKI Jakarta. Pada tanggal 20-24 Nopember 1973 diadakan Seminar Pencak Silat III di Bogor, nama Ikatan Pentjak Seloeroeh Indonesia diubah menjadi Ikatan Pencak Silat Indonesia.
Beliau dengan dibantu oleh beberapa perguruan pencak silat melakukan pendekatan kepada pimpinan PPSI yang akhirnya dalam keputusan Kongres IPSI IV ini PPSI bergabung ke dalam IPSI walaupun masih ada beberapa anggotanya yang tetap bertahan. Kebetulan ketiga pimpinan PPSI satu corps dengan beliau di Corps Polisi Militer. Perguruan-perguruan tersebut dianggap telah berhasil mempersatukan kembali seluruh jajaran pencak silat ke dalam organisasi IPSI.
Pada masa kepemimpinan Mayjen TNI Eddie Marzuki Nalapraya, perguruan-perguruan yang ikut aktif dalam memperjuangkan keutuhan IPSI tersebut diberi istilah Perguruan Historis dan dijadikan Anggota Khusus IPSI. Mereka dipandang mempengaruhi sejarah dan perkembangan IPSI serta pencak silat pada umumnya antara tahun 1948 dan 1973 dengan memberikan kontribusi kepada kesatuan pemikiran dalam pembentukan organisasi nasional tunggal pencak silat Indonesia yang diberi nama IPSI, kesatuan tekad untuk mempertahankan IPSI sebagai satu-satunya organisasi nasional pencak silat di Indonesia, kesatuan dukungan untuk menjadikan IPSI sebagai anggota KONI dan kesatuan dukungan untuk memasukkan pencak silat dalam PON sebagai cabang olahraga yang dipertandingkan. Sepuluh Perguruan Historis tersebut adalah :
- Persaudaraan Setia Hati
- Persaudaraan Setia Hati Terate
- Kelatnas Indonesia Perisai Diri
- PSN Perisai Putih
- Tapak Suci Putera Muhammadiyah
- Phasadja Mataram
- Perpi Harimurti
- Persatuan Pencak Silat Indonesia (PPSI)
- PPS Putra Betawi
- KPS Nusantara
Apa itu Pencak silat ?
Pencak silat adalah bentuk unik seni bela diri yang berakar dari budaya Melayu. Budaya ini terbentang luas meliputi Indonesia, Malaysia, Singapore, Brunei Darussalam, Filipina Selatan, Thailand Selatan dan daerah-daerah lain di mana penduduk setempat memiliki atas keturunan Melayu yang sama dan bertutur dalam rumpun bahasa Melayu.
Nama “pencak silat” sendiri disepakati oleh Ikatan Pencak Silat Indonesia atau IPSI, yang didirikan pada tahun 1948 di Solo, Indonesia dan selanjutnya diadopsi oleh Federasi Pencak Silat Internasional yang didirikan pada tahun 1980 oleh Indonesia, Malaysia, Singapore, dan Brunei Darussalam sehingga sekarang dipakai oleh seluruh anggota yang tersebar di dunia. Lebih spesifiknya, nama ‘pencak silat’ adalah penggabungan nama dari dua akar kata yang dipakai dengan istilah-istilah turunannya di daerah-daerah di Indonesia dengan tujuan mempersatukan aliran-aliran dan perguruan-perguruan yang luar biasa banyaknya. Kata “pencak” dan variasi dialek seperti “penca” (Jawa Barat) dan “mancak” (Madura dan Bali) umumnya digunakan di Jawa, Madura, dan Bali, sedangkan istilah “silat” atau “silek” digunakan di Sumatera (bersama dengan istilah “gayuang“). Penamaan semacam ini dan banyak variasi lainnya masih ditemukan di daerah-daerah sampai hari ini.
Nomenklatur juga bervariasi pada tingkat regional. Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand Selatan menggunakan “silat” untuk merujuk ke jurus teknik seni bela diri dan “bersilat” untuk prakteknya. Nama lain, tergantung pada tempat asal atau jurus, termasuk “gayong,” “gayong Fatani,” “Lintan,” “Cekak,” dan “keletan.” Filipina juga menggunakan “pasilat” di samping istilah “silat.”
Kekayaan penyebutan ilmu bela diri ini merujuk pada keanekaragaman makna dan teknik yang sangat luas. Walaupun demikian, semua ini tetap mengacu pada sebuah pola tertentu yang bersifat multi-dimensi dan berasal dari warisan budaya yang khas Melayu. Pencak silat menggabungkan gerakan-gerakan olahraga dan jurus-jurus bela diri dengan unsur seni, serta teknik pernapasan dan kesadaran spiritual. Menurut IPSI, secara substansial pencak silat adalah suatu kesatuan dengan empat rupa –catur tunggal—seperti tercermin dalam gambar trisula pada lambang IPSI, di mana tiga bilah pisau trisula mewakili unsur seni, bela diri, dan olahraga, dan gagangnya mewakili unsur mental-spiritual.
Sebagai seni, pencak silat merupakan wujud kebudayaan dalam bentuk kaidah gerak dan irama, yang takluk pada keselarasan, keseimbangan, dan keserasian antara wiraga, wirama dan wirasa. Di beberapa daerah, jurus-jurus seni diiringi dengan tabuh iringan musik yang khas dan dipertujukan pada acara-acara sosial, seperti pesta panen, pernikahan, dan keramaian umum.
Sedangkan, sebagai bela diri, pencak silat dipertujukkan untuk memperkuat naluri manusia untuk membela diri terhadap berbagai ancaman dan bahaya. Untuk mencapai tujuan ini, taktik dan teknik yang dipergunakan oleh pesilat mengutamakan efektivitas dan menjamin keamanan fisik, jika perlu dengan mendahulukan serangan lawannya.
Begitupun sebagai olahraga, pencak silat mengutamakan keterampilan fisik agar mendapat kebugaran, ketangkasan, maupun prestasi olahraga dan daya tahan. Dengan berlatih, seorang pesilat berupaya meningkatkan kelincahan anggota tubuh dan kekuatan gerak sekaligus menambah semangat agar prestasi dalam pertandingan.
Sebaliknya, sebagai olah batin, pencak silat lebih menfokus pada membentuk sikap dan watak kepribadian sebagai seorang pesilat sesuai filosofi spiritual yang dianutnya. Hal ini menitikberatkan pada pengendalian gerakan fisik, kekuatan batin, dan ketaatan terhadap nilai pokok budi pekerti luhur.
Empat aspek ini menyatu dalam gerakan-gerakan khas pencak silat, yang terdiri dari beberapa komponen utama atau teknik dasar. Secara garis besar, kita dapat membedakan empat macam teknik dasar: sikap pasang, gerak langkah, serangan dan belaan. Dengan membentuk sikap pasang pesilat mengespresikan status siaga dan waspada, yang sewaktu-waktu dapat diubah untuk melaksanakan tindakan taktis tertentu. Sikap pasang ini, biasanya menggunakan kaki maupun tangan, dan dapat meliputi sikap berdiri, jongkok, duduk, atau berbaring.
Jika sikap pasang adalah bagian statis dari gerakan pencak silat, gerak langkah adalah bagian yang dinamis. Dengan menentukan arah, cara, dan pola taktis gerak, pesilat melangkah untuk kepentingan pembelaan atau serangan. Lebih khusus, upaya-upaya membela diri terdiri atas tindakan menghindar serangan dari seorang lawan (antara lain dengan teknis tangkisan, elakan dan lepasan) dan tindakan untuk menangkap, mengunci dan menggagalkan gerakan lawan. Sedangkan, kegiatan serangan mencoba menjatuhkan lawan dalam beberapa cara, seperti memukul, menendang, dan menbanting. Teknik-teknik membela diri maupun serang ini juga dapat menggunakan beberapa jenis senjata, seperti pisau, pedang, trisula, dan toya.
Pada saat teknik-teknik ini menyatu dalam sebuah kaidah yang unik tetap mempertahankan ciri-ciri khasnya. Secara paradoksal, kesatuan kaidah pencak silat justru terdiri dari inti yang sangat bervariasi, tergantung gerakan dan teknik dasar mana yang diutamakan dalam kombinasi tersebut. Keaneka-ragaman pencak silat memang tidak dapat disangkal oleh karena pencak silat diwarisi oleh para guru yang menggunakan kemampuan kreatif yang berbeda untuk menciptakan gayanya sesuai dengan ciri alam sekelilingnya dan karakteristik sosial-budaya penduduk setempat. Ajaran-ajaran ini sering pula diperbaruhi dan dimadaptasi oleh murid-muridnya. Sebagai hasil dari proses ciptaan ini, variasi di antara gaya-gaya pencak silat di daerah-daerah di Indonesia dan negara-negara tetangga sangat besar dan terdapat ratusan aliran, perguruan dan jurus-jurus. Dengan demikian pencak silat menjadi fenomena yang nilai budaya tinggi dan menarik untuk berlatih baupun mempelajarinya.
No comments:
Post a Comment